Jualah segala milikmu dan ikutilah aku
Markus 10: 17-27 (30)
Didit dalam suatu retret pribadi begitu merasakan gerakan Tuhan untuk membaktikan dirinya sebagai seorang pendidik di Irian. Dia merasa bahwa disana lebih dapat berguna dan mengabdikan ilmunya untuk orang-orang yang membutuhkan. Tetapi dia juga merasa berat, karena harus meninggalkan semua kenalan dan saudara-saudaranya di Jawa. Ia juga bimbang, apakah di tempat baru nanti dapat hidup dengan fasilitas yang cukup. Ia bimbang untuk memutuskan.
Toni maunya hidup membiara bahkan mau mengabdikan diri kepada TUhan dalam hidup membiara yang ketat. Waktu mau mengucapkan kaul terakhir, ia harus menandatangani surat perjanjian bahwa tidak akanmau menerima warisan dari orang tuanya, sebagai tanda mau hidup miskin dan hanya bergantung pada Tuhan. Namun hatinya berat. Muncul kebimbangan,akan ditandatangani atau tidak. “Bagaimana kalau nanti dalam perjalanan saya tidak kuat, bukankah saya membutuhkan harta warisan orang tua saya?” Demikian bisik hatinya.
Rudi adalah seorang imam yang cukup enak hidupnya di suatu gereja yang subur dan serba kecukupan. Bahkan, di waktu luangnya dia dapat mengembangkan ilmunya di universitas terdekat. Suatu hari dalam refleksi bersama dalam keuskupannya, disadari bahwa dibutuhkan seorang imam untuk bekerja di gereja pelosok, di atas gunung yang kering. Orang-orang di situ memang lebih membutuhkan bantuan paling sedikit untuk waktu 3 tahun sampai ada tahbisan imam baru. Si pastor ini dalam kesadarannya yang terdalam tergerak untuk mengambil kesempatan itu, karena dia menyadari di situ Tuhan lebih memanggilnya untuk mewartakan kabar gembira. Tetapi di balik itu dia bingung. Macam-macam pertanyaan muncul: Apakah saya akan diterima di sana, apakah saya dapat hidup di sana. Apakah saya dapat mengembangkan hobi dan ilmu saya di sana?
Mirip dengan pengalaman di atas, orang kaya dalam Injil hari ini mengalami hal serupa. Si kaya yang sudah hidup baik dengan menjalankan semua perintah Tuhan dalam hukum taurat, tergerak untuk hidup lebih sempurna. Jawaban Yesus sungguh mengagetkan dia. “Kalau engkau ingin sempurna, juallah semua hartamu, berikan kepada orang miskin, lalu ikutlah Aku.” Hasilnya dia pergi dengan kecewa, karena hartanya banyak. Orang kaya itu menyadari panggilan Tuhan untuk hidup lebih sempurna, namun dia sulit untuk melakukan yang disadarinya itu. Harta baginya masih menjadi halangan untuk dapat mengikuti Tuhan lebih sempurna.
Kekayaan sendiri bukanlah sesuatu yang jelek, bahkan yang dapat banyak membantu orang hidup lebih baik. Menjadi kaya pun bukan suatu yang jelek, karena orang kaya pun dapat berbuat baik dan melakukan kehendak Tuhan. Kekayaan, harta dunia, sesuatu yang netral, sesuatu yang diperlukan untuk hidup, namun tetap harus disadari bahwa itu bukan tujuan hidup. Itu tetap hanya sarana untuk hidup lebih baik. Di sinilah letak sikap moral kita terhadap harta. Harta itu netral dan dapat menjadi baik sejauh digunakan untuk mengabdi Tuhan dan melayani sesama.
Apakah orang yang meninggalkan segalanya, pasti baik? Juga tidak. Kalau orang meninggalkan segalanya tetapi tidak sampai kepada tujuan yang lebih penting yaitu mengikuti Tuhan, maka makna meninggalkan segalanya juga kurang berarti.
Mungkin bagi kita, yang tidak sangat kaya harta, harta tidak jadi masalah. Malah mungkin harta masih harus kita cari agar hidup kita lebih maju dan terjamin. Namun demikian, tetap ada bahaya bahwa dalam pencarian harta itu, kita melupakan semangat dasarnya, yaitu bahwa harta itu sarana hidup. Kadang terjadi bahwa justru karena kita belum kecukupan harta. Maka dalam pencariannya seakan menganggap harta itu sebagai tujuan satu-satunya kehidupan. Dan ini dapat mengakibatkan kita lupa segala yang lain, lupa akan yang lebih penting.
Yang menarik bagi saya dalam kisah ini adalah bahwa dalam hubungan kita dengan Tuhan, selalu Tuhan menginginkan hubungan itu semakin dekat dan sempurna. Semakin orang hidup lebih baik, semakin Tuhan menginginkan dia lebih sempurna lagi. Dalam proses untuk menjadi lebih sempurna dalam mengikuti Tuhan itu, dapat terjadi bahwa orang diminta untuk meninggalkan sesuatu yang telah lama dirasakan sebagai suatu yang baik dan berguna. Ini dapat berupa harta, teman, saudara, kesukaan, hobi, keahlian, tempat, situasi aman, kecantikan, kejantanan, persaudaraan, hubungan baik, dll. Hal ini tidak mudah dan kadang terasa menyakitkan. Yang menjadi soal, apakah kita memang mau menjadi lebih sempurna mengikuti Tuhan. Bagi manusia itu tidak mungkin, tetapi bagi Allah semuanya mungkin.
Didit dalam suatu retret pribadi begitu merasakan gerakan Tuhan untuk membaktikan dirinya sebagai seorang pendidik di Irian. Dia merasa bahwa disana lebih dapat berguna dan mengabdikan ilmunya untuk orang-orang yang membutuhkan. Tetapi dia juga merasa berat, karena harus meninggalkan semua kenalan dan saudara-saudaranya di Jawa. Ia juga bimbang, apakah di tempat baru nanti dapat hidup dengan fasilitas yang cukup. Ia bimbang untuk memutuskan.
Toni maunya hidup membiara bahkan mau mengabdikan diri kepada TUhan dalam hidup membiara yang ketat. Waktu mau mengucapkan kaul terakhir, ia harus menandatangani surat perjanjian bahwa tidak akanmau menerima warisan dari orang tuanya, sebagai tanda mau hidup miskin dan hanya bergantung pada Tuhan. Namun hatinya berat. Muncul kebimbangan,akan ditandatangani atau tidak. “Bagaimana kalau nanti dalam perjalanan saya tidak kuat, bukankah saya membutuhkan harta warisan orang tua saya?” Demikian bisik hatinya.
Rudi adalah seorang imam yang cukup enak hidupnya di suatu gereja yang subur dan serba kecukupan. Bahkan, di waktu luangnya dia dapat mengembangkan ilmunya di universitas terdekat. Suatu hari dalam refleksi bersama dalam keuskupannya, disadari bahwa dibutuhkan seorang imam untuk bekerja di gereja pelosok, di atas gunung yang kering. Orang-orang di situ memang lebih membutuhkan bantuan paling sedikit untuk waktu 3 tahun sampai ada tahbisan imam baru. Si pastor ini dalam kesadarannya yang terdalam tergerak untuk mengambil kesempatan itu, karena dia menyadari di situ Tuhan lebih memanggilnya untuk mewartakan kabar gembira. Tetapi di balik itu dia bingung. Macam-macam pertanyaan muncul: Apakah saya akan diterima di sana, apakah saya dapat hidup di sana. Apakah saya dapat mengembangkan hobi dan ilmu saya di sana?
Mirip dengan pengalaman di atas, orang kaya dalam Injil hari ini mengalami hal serupa. Si kaya yang sudah hidup baik dengan menjalankan semua perintah Tuhan dalam hukum taurat, tergerak untuk hidup lebih sempurna. Jawaban Yesus sungguh mengagetkan dia. “Kalau engkau ingin sempurna, juallah semua hartamu, berikan kepada orang miskin, lalu ikutlah Aku.” Hasilnya dia pergi dengan kecewa, karena hartanya banyak. Orang kaya itu menyadari panggilan Tuhan untuk hidup lebih sempurna, namun dia sulit untuk melakukan yang disadarinya itu. Harta baginya masih menjadi halangan untuk dapat mengikuti Tuhan lebih sempurna.
Kekayaan sendiri bukanlah sesuatu yang jelek, bahkan yang dapat banyak membantu orang hidup lebih baik. Menjadi kaya pun bukan suatu yang jelek, karena orang kaya pun dapat berbuat baik dan melakukan kehendak Tuhan. Kekayaan, harta dunia, sesuatu yang netral, sesuatu yang diperlukan untuk hidup, namun tetap harus disadari bahwa itu bukan tujuan hidup. Itu tetap hanya sarana untuk hidup lebih baik. Di sinilah letak sikap moral kita terhadap harta. Harta itu netral dan dapat menjadi baik sejauh digunakan untuk mengabdi Tuhan dan melayani sesama.
Apakah orang yang meninggalkan segalanya, pasti baik? Juga tidak. Kalau orang meninggalkan segalanya tetapi tidak sampai kepada tujuan yang lebih penting yaitu mengikuti Tuhan, maka makna meninggalkan segalanya juga kurang berarti.
Mungkin bagi kita, yang tidak sangat kaya harta, harta tidak jadi masalah. Malah mungkin harta masih harus kita cari agar hidup kita lebih maju dan terjamin. Namun demikian, tetap ada bahaya bahwa dalam pencarian harta itu, kita melupakan semangat dasarnya, yaitu bahwa harta itu sarana hidup. Kadang terjadi bahwa justru karena kita belum kecukupan harta. Maka dalam pencariannya seakan menganggap harta itu sebagai tujuan satu-satunya kehidupan. Dan ini dapat mengakibatkan kita lupa segala yang lain, lupa akan yang lebih penting.
Yang menarik bagi saya dalam kisah ini adalah bahwa dalam hubungan kita dengan Tuhan, selalu Tuhan menginginkan hubungan itu semakin dekat dan sempurna. Semakin orang hidup lebih baik, semakin Tuhan menginginkan dia lebih sempurna lagi. Dalam proses untuk menjadi lebih sempurna dalam mengikuti Tuhan itu, dapat terjadi bahwa orang diminta untuk meninggalkan sesuatu yang telah lama dirasakan sebagai suatu yang baik dan berguna. Ini dapat berupa harta, teman, saudara, kesukaan, hobi, keahlian, tempat, situasi aman, kecantikan, kejantanan, persaudaraan, hubungan baik, dll. Hal ini tidak mudah dan kadang terasa menyakitkan. Yang menjadi soal, apakah kita memang mau menjadi lebih sempurna mengikuti Tuhan. Bagi manusia itu tidak mungkin, tetapi bagi Allah semuanya mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar
Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. (Luk 10:21)